Beranda » Blog » Jerry “Abdurrahman” Gray : Islam Bukan Teroris

Jerry “Abdurrahman” Gray : Islam Bukan Teroris

Diposting pada 6 Desember 2016 oleh Pusaka Dunia / Dilihat: 471 kali

Jerry “Abdurrahman” Gray : Islam Bukan Teroris
Sebetulnya, hidayah Islam itu sudah dapat saya rasakan sejak kecil dulu, pada saat saya berusia 5 tahun. Saya lahir dari orangtua yang tidak taat beragama. Maklum, ayah-ibu saya Kristen KTP karena tidak pernah ke gereja sama sekali. Walau saya punya orangtua, saya lebih dekat dengan nenek saya, Hulda Gaunitz. Ia adalah seorang petani. Hingga sekarang, saya masih ingat, nenek pernah bilang, “Kamu itu manusia spesial, orang baik, titipan Tuhan.”

Saya juga ingat pesan nenek, “Kalau kamu minta sesuatu, mintalah sama Tuhan. Sebelum makan, kamu juga harus berterima kasih sama Tuhan.” Seperti itulah nenek yang Kristiani mendidik saya. Ketika saya beranjak dewasa, saya pergi ke kota. Di ujung jalan, nenek sempat mengantarkan kepergian saya dengan lambaian perpisahan. Sejak itulah saya terakhir kali bertemu nenek (1982). Hingga saat ini, saya selalu diingatkan wajah nenek yang telah wafat. Saya tak bisa melupakan kasih sayangnya begitu besar.

Sejak remaja, banyak pertanyaan dalam diri saya tentang dogma agama. Saya merasakan gejolak batin tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Misalnya saja, kenapa untuk ampunan dosa, harus lewat Yesus. Terus terang saya bingung. Karena itulah saya jadi malas ke gereja, dan malas untuk rnembaca Injil. Orang mengatakan Jesus anak Tuhan. Tetapi di Injil saja, saya tidak pernah membaca Isa mengatakan bahwa dia anak Tuhan. Memang, dari dulu saya haus untuk mencari tahu siapa Tuhan, siapa malaikat, dan siapa Muhammad. Soal agama, bagi saya adalah urusan serius. Itulah sebabnya saya tetap yakin bahwa Tuhan Yang Mahabesar itu ada. Tapi bukan untuk meyakini Isa anak Tuhan.

Seiring perjalanan waktu, ketika turnbuh dewasa, saya terbang ke Honolulu, Hawaii, untuk melanjutkan studi di Universitas Hawaii. Lulus kuliah saya sempat masuk angkatan udara selama empat tahun. Di angkatan udara itu, saya rnasuk divisi teknisi pesawat. Dari situ saya mendapat sertifikat internasional sebagai ahli bidang perbaikan pesawat.

Pada tahun 1981-1982, ketika AS sedang mengalami resesi, saya dipecat dan tak lagi bekerja di HL Airline (servis pesawat). Dari tinggal di apartemen, kini tidak punya tempat tinggal lagi. Akhirnya saya terpaksa tidur di belakang mobil saya. Mau makan pun, saya harus ambil rumput laut lalu dijual ke pasar. Tapi, lama-lama tak ada bensin untuk mengangkut rumput laut ke pasar. Sampai di suatu dermaga, saya betul-betul tak bisa kemana-mana. Setelah itu, kondisinya betul-betul parah. Untuk makan sehari-hari saja, saya harus memancing ikan di dermaga. Saat itu, saya sangat bergantung dengan kail. Kalau hari ini saya tak beruntung mendapat ikan, itu berarti saya tidak makan. Sampai tiga hari penuh, saya betul-betul menahan lapar, karena tidak makan sama sekali. Sedih.

Akibatnya, saya dibawa ke rumah sakit (ruang darurat). Dokter bilang, saya terkena radang usus besar. Karena tidak ada uang untuk membayar obat, malam itu juga, saya keluar dari rumah sakit. Sekembali ke mobil, tempat saya berteduh, saya menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil. Ketika itu saya sudah mau mati, apalagi keluarga sudah tidak mau membantu saya lagi. Dengan terisak, saya berdoa, “Ya Tuhanku, saya minta tolong, saya tidak mau Tuhan marah lagi pada saya.” Saat itu, saya merasa Tuhan marah pada saya. “Ya Tuhan, saya mohon dikasih jalan yang baik atau saya mati saja,” saya berdo’a lagi, penuh harap.

Keesokan harinya, di Dermaga (Honolulu Hawaii), saya dihampiri lelaki bule bertubuh besar, tiga kali lebih besar dari saya. Selama berada di dermaga, orang itu rupanya diam-diam memperhatikan saya. Saya masih ingat lelaki besar itu bernama ‘Big John’ (nama aslinya John Leverette).

Sebelum Big John datang, pernah saya mengejar sisa roti dari seorang laki-laki dan anaknya yang masih kecil. Sisa roti itu dijadikan umpan untuk memancing ikan. Ada tiga roti sisa yang dibuang ke tempat sampah. Sambil menahan lapar, saya berbisik, “Roti itu makanan saya, bukan makanan ikan.” Setelah orang itu meninggalkan dermaga, saya langsung lari dan mencari di mana sisa roti itu dibuang untuk saya makan. Waktu itu badan saya kurus kering, hanya kulit dan tulang. Hampir enam minggu, saya menjadi gembel.

Saat bertemu Big John, dia bilang sama saya, “Hei… Jerry, kamu harus ke rumah saya untuk makan.” Tapi dasar saya keras kepala, saya sempat menolak ajakan itu. Dulu waktu saya ingin minta tolong, tidak ada orang yang mau membantu saya. Sekarang giliran ada orang yang mau membantu saya, malah saya tolak. Ketika saya menolak, Big John berang dan memegang baju saya dengan kepalan tangannya yang besar. Katanya, “Kamu mau makan sama saya atau kena pukul tangan saya?” Akhirnya, saya mau juga ke rumahnya untuk makan. Di rumah Big John, saya makan enam roti isi hot dog dan satu liter coca cola. Setelah makan, saya istirahat dan bantu-bantu anaknya sebagai babysitter.

Meski Big John tidak percaya adanya Tuhan, ia baik hati dan tulus menolong saya untuk mencarikan pekerjaan. Berkat bantuannya, saya berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk melatih orang Saudi sebagai guru teknisi pesawat. Awalnya, saya membayangkan stigmatisasi Islam teroris yang ditebarkan AS, tapi ternyata tak terbukti ketika saya sampai di sana. Menurut saya, orang Islam itu bukan teroris, tapi orang yang cinta Tuhan. Mereka shalat lima kali sehari on time. Orang Saudi pun baik sama saya.

Sejak itulah saya mulai mempunyai interest tentang apa itu Islam. Yang pasti, banyak hal yang sebetulnya ingin saya tanyakan, tapi saya malu untuk bertanya di depan rekan senegara saya, Amerika. Suatu ketika, saya bertemu dengan orang Yaman, namanya Ahmad. Dialah tempat saya bertanya tentang Islam dan siapa itu Muhammad. Esoknya, saya langsung dibawakan Al-Qur’an, terjemahan bahasa Inggris. Ketika saya membaca terjemahan itu, saya sudah mau nangis. Sayangnya, saya lupa, surat apa sebenarnya yang saya baca. Saya ingat Ahmad bilang, “Ini agama kita. Tak beda dengan agama kamu.” Setelah saya meresapi maknanya, saya terhenti, karena tak kuasa menahan air mata. Spontan saja saya berkata dalam hati, semua kitab ini benar.

Selang beberapa hari, saya bertemu orang Indonesia, namanya Rahmat. Ia memberi tahu saya untuk masuk sekolah Islam di Jeddah. Ketika pertama masuk sekolah, saya bilang kepada guru saya, “Saya sekolah di sini bukan untuk mau masuk Islam. Saya datang ke sini untuk mencari informasi tentang Islam.” Karena guru saya ramah dan pintar bicara, hanya waktu semalam saja, saya sudah mau masuk Islam. Dan sampai di rumah, saya membaca syahadat di kamar tidur saya dengan bahasa Inggris. Tiga hari kemudian, saya resmi masuk Islam. Itu pada tahun1984.

Banyak tantangan saat saya masuk Islam. Untuk mendapat surat identitas Muslim saja butuh waktu satu tahun, prosesnya sangat berbelit-belit. Pernah, saya diikuti intel, untuk mencari tahu, apakah saya seorang spionase CIA atau bukan. Sampai-sampai, saya dipertemukan dengan hakim nomor dua di Jeddah. Belum lagi ujian ketika kawan senegara saya mulai menjauhi saya. Sampai-sampai saya dipanggil headbanger (ketok kepala). Bahkan, sejak peristiwa ‘eleven-nine’ (11 September, red), ibu saya mengaku malu punya anak Muslim.

Pernah, di Jeddah, saat saya berhenti di sebuah pompa bensin untuk mengisi bahan bakar, waktu itu tak seorang pun dan satu pun mobil yang parkir di situ. Tiba-tiba, datang orangtua berjenggot, berpakaian ala Arab, matanya putih, seraya meminta uang. Anehnya, saya merasa iba dan memberikan 50 real kepada lelaki tua renta itu. Jujur, seumur hidup belum pernah saya kasih uang sama orang. Tapi begitu saya kembalikan dompet ke celana saya, orang itu sudah menghilang. Merinding badan saya, terasa seperti full AC.

Setelah tiga bulan, saya diajak Rahmat melaksanakan ibadah haji. Saat hendak masuk ke Masjidil Haram, security menghentikan saya, dan saya ditanya, “Kamu mau ke mana?” Rahmat menjawab, “Orang ini mualaf, baru beberapa hari masuk Islam, Ia harus k esini.” Seketika itu juga, security jadi terharu dan memeluk saya.

Setelah bekerja selama 2 tahun di Jeddah (1982-1984) dan lama berkenalan dengan banyak orang Indonesia, ia diajak ke Indonesia untuk bisnis diving. Ia sempat bekerja menjadi cameraman di Metro TV. Kini, ia telah menulis dua buah buku : 11-9 The Real Truth dan American Shadow Government (Penerbit Gema Insani). Di dalam buku itu, ia mengungkapkan kebohongan pemerintah AS tentang peristiwa 11/9. “Sebelumnya, 30 penerbit di AS dan Indonesia menolak untuk menerbitkan buku saya. Padahal, saya anggap usaha ini sebagai jihad. Dan saya siap untuk mati. Kalau saya mati, insya Allah syahid dan Allah memberi jalan terbaik dunia dan akhirat bagi saya dan keluarga,” katanya.

Apakah tidak takut dituduh teroris? “Mungkin, istri saya lebih takut. Ia takut anaknya kehilangan ayah,” ujar Jerry yang kini sudah 19 tahun tinggal di Indonesia. “Sebagai Muslim, saya malu jadi orang Amerika. Apalagi setelah negara saya menangkap 2000 orang Muslim pasca 11/9. Mereka hilang misterius. Karena itu, orang Islam harus disadarkan,” katanya.

Itulah pengalaman rohani Jerry “Abdurrahman” Gray, lelaki kelahiran Weisbaden, Germany 24 September 1960. [Amanah-56/XVIII]
Jerry D Gray : Peristiwa 11 September Sungguh Janggal
Jerry D Gray ingat betul kejadian yang dialaminya tanggal 11 September 2001. Saat itu, mantan kameraman freelance CNBC Asia ini tengah asyik berselancar di internet. Tiba-tiba telepon di sampingnya berdering. “Hidupkan televisimu sekarang!” demikian bunyi suara di ujung sana.

Telepon itu berasal dari ibunda Jerry yang ketika itu berada di Wisconsin, Amerika Serikat. Jerry sendiri menetap di Jakarta — dia sudah lama tinggal di kota ini sejak tahun 80-an. Mendengar suara gugup ibundanya, tanpa pikir lama-lama, dia pun segera menyalakan televisi.

Terlihatlah suasana menegangkan usai meledaknya menara kembar World Trade Center (WTC) New York, akibat hantaman dua buah pesawat berbadan lebar. Kejadian tersebut disiarkan langsung oleh sebuah stasun televisi asing dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Serta merta, hati Jerry berkecamuk, sedih sekaligus marah melihat banyak orang tak berdosa menjadi korban. Terbayang warga di negara tempat kelahirannya itu panik bukan kepalang.

Itulah awal dari peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi 11 September 2001. Sebuah kejadian yang hingga kini masih menyisakan kisah sedih. Tak hanya bagi keluarga korban yang ditinggalkan, namun juga komunitas umat Muslim di seluruh dunia. Beberapa saat setelah pihak yang berwenang di AS mengadakan penyelidikan, maka ditengarai kelompok teroris asal Timur Tengah berada di balik kejadian tersebut. Karena wilayah Timur Tengah identik dengan agama Islam, serta merta perhatian dunia pun tertuju pada Islam serta para penganutnya.

Media massa Barat dengan segala reportasenya menjadikan momentum itu sebagai sarana untuk mengupas tuntas tentang Islam. Begitu gencarnya pemberitaan tentang peristiwa 11 September dan Islam sendiri, hingga tak jarang — seperti dikhawatirkan sebagian kalangan Muslim — media Barat kerap menyudutkan umat Islam.

Hal itu pula yang kemudian membuat Jerry gundah. Berdasarkan pengamatan serta observasi terhadap gambar-gambar berita maupun informasi aktual, lelaki asal AS ini merasa bahwa banyak kejanggalan dan fakta yang disembunyikan oleh kalangan pemerintah serta media massa AS berkaitan peristiwa 11 September tadi. Apalagi kemudian, umat Islam didudukkan sebagai “terdakwa” dalam kejadian ini.

Tetapi, kenapa Jerry merasa resah dengan berita menyudutkan dari media massa Barat terhadap Islam? Jangan lihat dia dari namanya. Jerry, atau tepatnya Haji Jerry, telah menjadi Muslim sejak 1984. Sepulang menunaikan ibadah haji, ia mengantongi nama baru, H Abdurrahman.

Sebagai Muslim, lelaki kelahiran Wiesbaden Jerman, 24 September 1960, ini merasa teriris hatinya dengan tudingan tanpa dasar mengenai keterlibatan Muslim dalam tragedi WTC. Hari-hari selanjutnya, waktunya seperti habis untuk mengikuti pemberitaan 11 September melalui media cetak, televisi, maupun internet. Tapi lama kelamaan, berdasarkan pengalaman sebagai jurnalis televisi, dirinya melihat ada banyak keanehan dan kejanggalan atas kejadian tersebut.

Awal kecurigaannya adalah, bagaimana CNN dapat begitu cepat menyiapkan siaran langsung 11 September ke seluruh dunia? Dari pengalamannya ketika membantu persiapan siaran sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta, paling tidak butuh waktu 20 menit untuk mengeset peralatan bagi keperluan siaran langsung di lapangan.

Dikatakan, rentang waktu antara insiden penabrakan pertama dan insiden penabrakan kedua tak lebih dari 18 menit. “Akan tetapi, CNN sudah mampu menayangkan langsung kejadian tabrakan kedua hanya dalam waktu kurang dari 18 menit dari tabrakan pertama,” kata dia dalam bahasa Indonesia yang fasih. Jerry berasumsi, situasi ini yang tidak mungkin terlaksana dalam kondisi normal. “Kecuali jika CNN memang telah mengetahui rencana peristiwa tersebut hingga dapat terlebih dahulu menyiapkan segala peralatannya,” imbuhnya.

Sejak itulah batin dan sanubarinya terus didera gejolak. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan, bahwa sebagai manusia dia tidak bisa tinggal diam serta tidak melakukan apa-apa menyangkut kejanggalan ini. The needs of the many outways the needs of the few, begitu prinsipnya. Maka, Jerry pun mulai mengadakan penelitian terhadap semua gambar, pemberitaan, foto, dan video terkait peristiwa mengenaskan itu.

Dari situ makin banyaklah kejanggalan serta keanehan berhasil dia temukan mengenai fakta-fakta kejadian 11 September. Semuanya itu lantas dituangkan dalam sebuah buku berjudul The Hard Evidence Exposed! The Real Truth 9-11. Salah satu kesimpulan pada buku setebal 116 halaman ini adalah: sesungguhnya ada sesuatu lebih besar di balik kejadian 11 September 2001.

Perkenalan Jerry dengan Islam terjadi di Arab Saudi tahun 80-an. Saat itu dia bertugas sebagai mekanik pesawat AU AS serta menjadi instruktur di New Saudi Mechanics. Awalnya, dia mengaku enggan masuk ke Arab Saudi karena merasa takut dengan orang Arab dan Islam. Tapi apapun alasannya, tugas tetap tidak bisa ditolak. Akan tetapi, setelah sekian lama, kekhawatirannya tidak terbukti. Sebaliknya, dilihatnya orang-orang Islam jauh dari kesan teroris. “Mereka sangat cinta Tuhan, selalu shalat lima waktu, mengerjakan puasa dan banyak lagi,” kenangnya.

Rasa ingin tahunya terhadap agama Islam pun kian bertambah. Jerry lantas mulai berani bertanya tentang Islam kepada rekan-rekannya yang beragama Islam. Hingga kemudian, seorang rekannya yang berasal dari Yaman membawakannya terjemahan kitab suci Alquran berbahasa Inggris. “Saya pun membaca terjemahan itu, dan seketika usai membaca satu ayat — saya lupa nama ayatnya — tak sadar saya menangis,” ungkap Jerry.

Usai membaca tiga empat ayat berikutnya, Jerry merasa tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa apa yang tertulis di dalam Alquran adalah benar adanya. Namun hingga saat itu, dia mengaku belum berniat masuk Islam, hanya sekedar ingin tahu saja. Beberapa bulan berikutnya, seorang rekannya dari Indonesia mengajak dia kepada seorang guru agama. “Saya katakan kepada guru itu, saya tidak mau masuk Islam, tapi guru tersebut memintanya ikut mendengarkan ceramah dan pembacaan Alquran di tempatnya.”

Pulang dari situ, Jerry banyak termenung. Hatinya berkecamuk. Sampai di rumah dia langsung masuk kamar dan membaca kembali Alquran terjemahan pemberian rekannya terdahulu. Sejak saat itu, hidayah datang kepadanya yang menetapkan niatnya untuk masuk Islam. Setelah masa tugasnya di Arab Saudi berakhir, ia tidak kembali ke AS, tapi memutuskan pindah ke Indonesia. Di Jakarta, mantan mekanik US Air Force tersebut kemudian menggeluti dunia jurnalistik televisi.

Kini setelah sukses dengan bukunya, Jerry lebih giat untuk memantau berita-berita dan informasi tentang Islam. Bukan cuma itu, kegiatannya pun kian bertambah dengan aktivitas dakwahnya di masjid-masjid dan majlis taklim seputar Jabotabek. Kepada saudara-saudara Muslimnya, ia banyak berkisah tentang mulianya Islam dan temuan-temuannya.

Ia juga kerap menyampaikan pesan-pesan singkat, tapi mengena. “Pendek kata, umat Islam harus menunjukkan wajahnya yang ramah dan cinta damai. Jangan reaksi berlebihan karena itulah yang tengah ditunggu-tunggu oleh kalangan media Barat untuk menyudutkan kita,” kata dia.

Jerry D.Gray
Kelahiran : Wiesbaden, 24 September 1960
Karier : – mekanik pesawat AU AS
– instruktur selam
– kameraman freelance CNBC Asia
Nama istri : Ratna Komala
Nama anak : Adam

Jerry “Abdurrahman” Gray : Islam Bukan Teroris

Jerry “Abdurrahman” Gray : Islam Bukan Teroris

Tutup Sidebar
Sidebar
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah:

Chat via Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

Admin 1
● online
Admin 2
● online
Admin 1
● online
Halo, perkenalkan saya Admin 1
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja