Beranda » Blog » Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha

Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha

Diposting pada 1 Desember 2016 oleh Pusaka Dunia / Dilihat: 394 kali

Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha
Beliau adalah Shafiyyah binti Huyai binti Akhthan bin Sa’yah cucu dari Al-Lawi bin Nabiyullah Israel bin Ishaq bin Ibrahim a.s., termasuk keturunan Rasulullah Harun a.s. Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang terpandang, berparas cantik dan bagus diennya. Sebelum Islamnya beliau menikah dengan Salam bin Abi Al-Haqiq, kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Abi Al-Haqiq. Keduanya adalah penyair yahudi. Kinanah terbunuh pada waktu perang Kkaibar, maka beliau termasuk wanita yang di tawan bersama wanita-wania lain. Bilal “Muadzin Rasululllah” menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka meleweti tanah lapang yang penuh dengan mayat-mayat orang Yahudi. Shafiyyah diam dan tenang dan tidak kelihatan seduh dan tidak pula meratap mukanya, menjerit dan menaburkan pasir pada kepalanya.

Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah SAW, Shafiyyah dalam keadaan sedih namun tetap diam, sedangkan putri pamanya kepalanya penuh pasir, merobek bajunya karena maresa belum cukup ratapannya. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Enyahkanlah syetan ini dariku.”

Kemudian Rasulullah SAW mendekati Shafiyyah kemudian mengarahkan pandangan atasnya dengan ramah dan lembut, kemudian bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal aku berharap engkau mendapat rahmat tatkala engkau bertemu dengan dua orang wanita yang suaminya terbunuh.”

Selanjutnya Shafiyyah dipilih untuk beliau dan beliau mengulurkan selendang belieu kepada Shafiyyah, hal itu sebagai pertandan bahwa Rasulullah SAW telah memilihnya untuk dirinya.Hanya kaum muslimin tidak mengetahui apakah Shafiyyah di ambil oleh Rasulullah SAW sebagai istri atau sebagai budak atau sebagai anak? Maka tatkala beliau berhijab Shafiyyah, maka barulah mereka tahu bahwa Rasulullah SAW mengambilnya sebagai istri. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a. bahwa Rasulullah tatkala mengambil Shafiyyah binti Huyai belaiu bertanya kepadanya,”Maukah engkau menjadi istriku?”Maka Shafiyyah menjawab,”Ya Rasulullah sungguh aku telah berangan-angan untuk itu tatkala masih musyrik, maka bagaimana mungkin aku tidak inginkan hal itu manakala Allah memungkinkan itu saat aku memeluk Islam?”

Kemudian tatkala Shafiyyah telah suci Raslullah SAW menikahinya, sedangkan maharnya adalah merdekanya Shafiyyah. Nabi SAW menanti sampai Khaibar kembali tenang. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan perjalanannya ke Madinah bersama bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shabba’jauh dari Khaibar mereka berhenti untuk beristirahat. Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul ‘urs. Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a, beliau menyisir rambut Shafiyyah, menghiasi dan memberi wewangian hingga karena kelihaian dia dalam merias, Ummu Sinan Al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih dan cantik dari Shafiyyah yang usianya baru 17 tahun itu. Maka diadakanlah walimatul ‘urs, maka kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega, dan keju Khaibar hingga kenyang.

Tatkala rombongan sampai di Madinah Rasulullah perintahkan agar pengantin wanita tidak langsung di ketemukan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau turunkan Shafiyyah di rumah sahabatnya yang bernama Haritsah bin Nu’man. Ketika wanita-wanita Anshar mendengar kabar tersebut, mereka datang untuk melihat kecantikannya. Nabi SAW memergoki ‘Aisyah keluar sambil menutupi dirinya serta berhati-hati (agar tidak dilihat Nabi) kemudian beliau masuk kerumah Haritsah bin Nu’man. Maka beliau menunggunya sampai ‘Aisyah keluar. Maka tatkala beliau keluar, Rasulullah memegang bajunya seraya bertanya dengan tertawa,”bagaimana menurut mendapatmu wahai yang kemerah-merahan?” Aisyah menjawab sementara cemburu menghiasi dirinya, “Aku lihat dia adalah wanita Yahudi.” Maka Rasulullah SAW membantahnya dan bersabda, “Jangan berkata begitu?.karena sesungguhnya dia telah Islam dan bagus keislamannya.”

Selajutnya Shafiyyah berpindah ke rumah Nabi menimbulkan kecemburuan istri-istri beliau yang lain karena kecantikannya. Mereka juga mengucapkan selamat atas apa yang telah beliau raih. Bahkan dengan nada mengejek mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing.

Bahkan suatu ketika sampai keluar dari lisan Hafshah kata-kata,”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan beliau menangis. Tatkala itu Nabi masuk sedangkan Shafiyyah masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah anak seorang Yahudi. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Engkau adalah seorang putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga seorang Nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian beliau bersabda kepada Hafshah,”Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!”

Maka kata-kata Nabi itu menjadi penyejuk, keselamatan dan keamanan bagi Shafiyyah. Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri Nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”

Shafiyyah r.a. wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu’awiyah. Beliau dikuburkan di Baqi’ bersama Ummuhatul Mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Hafshoh binti Umar r.a.

Beliau adalah Hafsah putri dari Umar bin Khaththab, seorang shahabat agung yang melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshoh adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita yang disegani.

Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yang pernah berhijrah dua kali, ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami waktu perang Uhud. Beliau meninggalkan seorang janda yang masih muda dan bertaqwa yakni Hafshoh yang ketika itu masih berumur 18 tahun.

Umar benar-benar merasakan gelisah dengan adanya keadaan putrinya yang menjanda dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan dengan wafatnya menantunya yang dia adalah seorang muhajir dan mujahid. Beliau mulai merasakan kesedihan setiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar berkesimpulan untuk mencarikan suami untuk putrinya sehingga dia dapat bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yang telah hilang tatkala dia menjadi seorang istri selama kurang lebih enam bulan dapat kembali.

Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallaahu ‘anhu orang yang paling dicintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena Abu Bakar dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafshoh yang mewarisi watak bapaknya yakni bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka segeralah Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal Hafshoh berserta ujian yang menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan dengan rasa iba dan belas kasihan. Kemudian barulah Umar menawari Abu Bakar agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar mau menerima seorang yang masih muda dan bertakwa, putri dari seorang laki-laki yang dijadikan oleh Allah penyebab untuk menguatkan Islam. Namun ternyata Abu Bakar tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar dengan membawa kekecewaan hatinya yang hampir-hampir dia tidak percaya (dengan sikap Abu Bakar). Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yang mana ketika itu istri beliau yang bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat karena sakit yang dideritanya.

Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar mau menikahi putrinya, namun beliau menjawab: “Aku belum ingin menikah saat ini”. Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman tersebut setelah ditolak oleh Abu Bakar. Dan beliau merasa malu untuk bertemu dengan salah seorang dari kedua shahabatnya tersebut padahal mereka berdua adalah kawan karibnya dan teman kepercayaannya yang faham betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan keadaan dan sikap Abu Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah SAW seraya berkata, “Hafshoh akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshoh (yaitu putri beliau Ummu Kultsum r.a. red.)”

Wajah Umar bin Khaththab berseri-seri karena kemuliaan yang agung ini yang mana belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala kesusahan hatinya, maka dengan segera dia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada setiap orang yang dicintainya sedangkan Abu Bakar adalah orang yang pertama kali beliau temui. Maka tatkala Abu Bakar melihat Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka beliau mengucapkan selamat kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil berkata “janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar karena aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshoh. Hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; seandainya beliau menolak Hafshoh maka pastilah aku akan menikahinya. Maka Madinah mendapat barokah dengan indahnya pernikahan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Hafshoh binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga.

Begitulah, Hafshoh bergabung dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yang suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata: “Betapa kerdilnya engkau bila dibanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dengan ayahnya”.

Hafshoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat: “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi,maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril” (Q.S. At-Tahrim: 4).

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak sekali untuk Hafshoh tatkala Hafshoh dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali dengan perintah yang dibawa oleh Jibril ‘alaihissalam yang mana dia berkata, “Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di surga.”

Hafshoh pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshoh hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rasul yang mulia menghadap Ar-Rafiiq Al-A’la dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka Hafshoh-lah yang dipercaya diantara Ummahatul Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama.

Hafshoh radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta’at kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama yang sebagai mukjizat yang kekal, sumber hukum yang lurus dan ‘aqidahnya yang utuh.

Ketika ayah beliau yang ketika itu adalah Amirul mukminin merasakan dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi pada bulan Dzulhijjah tahun 13 hijriyah, maka Hafshoh adalah putri beliau yang mendapat wasiat yang beliau tinggalkan.

Hafshoh wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu ‘anhu setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yang bernama Abdullah dengan wasiat yang diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu ‘anhu. Semoga Allah meridhai beliau karena beliau telah menjaga al-Qur’an al- Karim, dan beliau adalah wanita yang disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan bahwa beliau adalah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di surga.
Saudah Binti Zam’ah r.a.: Sang Isteri yang Merelakan Haknya

Beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani Najjar. Beliau juga seorang Sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah dengan As-Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika beliau bersama delapan orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan hartanya, kemudian menyebrangi dasyatnya lautan karena ridha menghadapi maut dalalm rangka memenangkan diennya. Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yang mereka karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada hentinya ujian menimpa Saudah belum usai ujian tinggal dinegeri asing (Habsyah) beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin. Maka beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda disamping juga ujian dinegeri asing.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda tersebut. Oleh karena itu tiada henti-hentinya Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau hingga pada gilirannya beliau mengulurkan tangannya yang penuh rahmat untuk Saudah dan beliau mendampinginya dan membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi umurnya telah mendekati usia senja sehingga membutuhkan seseorang yang dapat menjaga dan mendampinginya.

Telah tercatat dalam sejarah tak seorang pun sahabat yang berani mengajukan masukan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau setelah wafatnya Ummul Mukminin ath-Thahirah yang telah mengimani beliau disaat menusia mengkufurinya dan menyerahkan seluruh hartanya disaat orang lain menahan bantuan terhadapnya dan bersamanya pula Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.

Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang lembut dan ramah:

Khaulah:”Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?”
Nabi: (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan), “Dengan siapa saya akan menikah setelah dengan Khadijah?”
Khaulah: “Jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.”
Nabi: “Jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?”
Khaulah: “Putri dari orang yang anda cintai, yakni Aisyah binti Abu Bakar.”
Nabi : (Setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat kemudian bertanya), “Jika dengan seorang janda?”
Khaulah : “Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman kepada anda dan mengikuti yang anda bawa.”

Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah binti Zam’ah yang mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau (setelah wafatnya Khadijah) selama tiga tahun atau lebih baru kemudian masuklah Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam’ah. Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak percaya dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan tidak begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal itu menarik perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka.

Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain tidak dapat menggantikan posisi Khadijah, akan tetapi hal itu adalah, kasih sayang dan penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kasih.

Adapun Saudah radhiallaahu ‘anha mampu untuk menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan ketidaksukaannya terhadap beratnya badan.

Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam rumah tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri yang lain seperti Hafsah, Zainab, Ummu Salamah dan lain-lain. Saudah radhiallaahu ‘anha menyadari bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengawininya dirinya melainkan karena kasihan melihat kondisinya setelah kepergian suaminya yang lama. Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan nyata tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin menceraikan beliau dengan cara yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya, namun Nabi nerasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya untuk menceraikan beliau, maka beliau merasa seolah-olah itu adalah mimpi buruk yang menyesakkan dadanya, maka beliau merengek dengan merendahkan diri berkata: “pertahankanlah aku ya Rasulullah !demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu karena ketamakan saya akan tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi Istrimu.

Begitulah Saudah radhiallaahu ‘anha lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia, maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah untuk menjaga hati Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu ‘anha sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.

Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut, maka turunlah ayat Allah, “Maka tidak mengapa bagi keduannya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (Q. S. An-Nisa’:128)

Saudah radhiallaahu ‘anha tinggal dirumah tangga nubuwwah dengan penuh keridhaan dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya disamping sabaik-baik makhluk di dunia dan dia bersyukur kepada Allah karena mendapat gelar ummul mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah. Akhirnya wafatlah Saudah radhiallaahu ‘anha pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anha.

Ummul mukminin Aisyah radhiallaahu ‘anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah berkata, “Tiada seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seperti dia melebihi Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja yang mana dia berkata, “Ya Rasulullah aku hadiahkan kunjungan anda kepadaku untuk Aisyah hanya saja beliau berwatak keras.”

Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha

Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha

Tutup Sidebar
Sidebar
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah:

Chat via Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

Admin 1
● online
Admin 2
● online
Admin 1
● online
Halo, perkenalkan saya Admin 1
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja