Beranda » Blog » Muhammad Reynold Hamdani, Gagal Meneruskan Cita-cita Oma Jadi Pendeta

Muhammad Reynold Hamdani, Gagal Meneruskan Cita-cita Oma Jadi Pendeta

Diposting pada 26 November 2016 oleh Pusaka Dunia / Dilihat: 462 kali

Tentang Muhammad Reynold Hamdani, Gagal Meneruskan Cita-cita Oma Jadi Pendeta. Hidayah Islam ternyata tak kenal usia dan waktu. Jika Allah menghendaki, tak ada yang tak mungkin. Segalanya serba mungkin. Kendati masih belia, Reynold telah menemukan kebenaran Islam yang selama ini ia cari. Padahal, omanya sangat mengharapkan cucu kesayangannya itu mengikuti jejaknya menjadi pendeta. Tapi, Allah berkehendak lain. Usia muda memang tak menghalangi seseorang untuk mampu bersikap kritis. Adalah Reynold Hamdani, lelaki kelahiran 11 Mei 1981, sejak duduk di bangku SMR sudah rrtulai bertanya tentang Tuhan, Ia punya segudang pertanyaan tentang Tuhan sebenar-benar Tuhan. Tuhan yang dicari adalah Tuhan yang bisa diterima secara logika, bukan konsep Tuhan yang membuatnya bingung dan semakin gelisah.

Untuk menceritakan perjalanan rohaninya itu, Reynold bersedia untuk datang langsung ke redaksi Amanah untuk diwawancarai. Katanya, kampusnya tak jauh dari kantor Amanah. “Usai wawancara, saya bisa langsung meluncur ke kampus untuk kuliah,” ujar Reynold saat membuka percakapan, Berikut penuturan Reynold kepada Amanah usai menunaikan shalat Ashar, beberapa waktu lalu;

Awal ketertarikan saya pada agama Islam, sebetulnya karena peran mama (Yetty Pangau) yang lebih dahulu memeluk Islam. Sebagai keturunan Tionghoa, keluarga saya adalah penganut Kristen Pantekosta yang taat, kecuali papa. Oma dan opa saya, misalnya, keduanya adalah seorang pendeta.

Saya sendiri, anak ketiga dari empat bersaudara. Dibanding saudara yang lain, boleh dibilang, saya anak yang paling dekat dengan oma (Theresia Pangau). Mengingat, sejak kecil, saya sering tinggal di rumah oma ketimbang mama-papa. Dekatnya rumah oma dengan gereja, membuat saya banyak menghabiskan waktu di lingkungan gereja. Dalam keseharian, Oma adalah orang yang paling berperan dalam mendidik iman Kristiani saya. Oma pula, yang melatih saya untuk berpikir kritis teniang segala hal. Di sekolah minggu misalnya, saya sudah bias memimpin, dan bercerita kepada anak-anak tentang Al Kitab.

Keinginan oma, kelak saya menjadipendeta, makanya oma terus mendorong saya agar masuk sekolah khusus pendeta di Surabaya, setelah lulus SD nanti. Didikan oma agar saya mampu berpikir kritis, akhirnya malah berbalik: mengkritisi dogma Kristen yang selama ini saya terima dari oma.

Bagaimana pun, oma adalah orang yang sangat saya sayangi. Begitu juga oma sangat menyayangi saya. Dari kedekatan emosional saya dengan oma, telah membuat saya shock, ketika mendengar kabar oma meninggal dunia (tahun 1992). Saat menyaksikan tubuh oma rebah tanpa nyawa, saya sempat tidak bisa berjaian karena shock yang saya rasakan saat itu. Dengan meningga/nya oma, saya merasa kehilangan seorang yang saya cintai, dan orang yang mencintai saya.

Namun, di balik meninggalnya oma, ternyata Tuhan punya rencana dan kehendak lain. Semu/a oma yang mengharapkan saya melanjutkan jej’aknya menjadi pendeta, akhirnya takpemah terwujud. Begitu oma meninggal, saya justru mempelajari Islam, bahkan memeluk Islam. Saya berpikir, kalau saja oma masih hidup, boleh jadi saya akan memantapkan keinginan oma menjadi pendeta. Juga boleh jadi oma sangat membenci saya, karena telah menanggalkan iman Kristiani saya.

Pada tahun yang sama, selang beberapa hari wafatnya oma, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (BPPS), tempat saya melakukan kebaktian dan sekolah minggu di bilangan Tanjung Priok pun digusur. Sejak itu, praktis saya terpaksa tidak ke gereja lagi.

Benci Mama

Setelah wafatnya oma, Reynold tinggal bersama mama-papanya. Ketimbang papanya, ia lebih dekat dengan mamanya. Itulah sebabnya, Reynold banyak meiuangkan waktu bersama mamanya. Semula Reynold betul-betul tidak tahu, bahwa mamanya ternyata diam-diam telah memeluk Islam. Hebatnya, sang mama pandai menyembunyikan kerahasiannya memeluk Islam kepada keluarga dalam beberapa tahun. Suatu ketika, Reynold memergoki mamanya shalat di rumah tetangga. Begitu kepergok, Reynold mulai mencari tahu, ihwal sang mama tertarik dengan Islam. Berikut penuturan Reynold tentang mamanya:

Begitu saya memergoki mama sedang shalat di rumah tetangga, spontan saya bertanya pada mama. Kenapa mama masuk Islam? Lalu dijawab mama, “Mama mimpi berteriak Allahu Akbar. Mimpi itu bukan hanya datang sekali, tetapi beberapa kali. Mama pikir, mungkin ini sudah panggilan untuk memeluk Islam.” Singkat cerita mama memutuskan menjadi Muslimah.

Mendengar pengakuan mama, saya betul-betul marah dan membenci mama. Bagaimana tidak marah, saya yang selama ini mendapat doktrin gereja tentang konsep ketuhanan Yesus, mama justru bertolak belakang dengan apa yang saya terima selama ini. Sebelum meninggalkan mama, tetangga saya yang Muslim menganjurkan saya untuk mempelajari Islam, katanya: Apa benar Yesus itu Tuhan. Bukankah Yesus itu manusia biasa. Karena itu, terla/u tinggi kalau Yesus dijadikan Tuhan.

Sekalipun saya marah dan pergi meninggalkan mama begitu saja, tapi marahnya saya, tetap menyimpan banyak. pertanyaan. Berbekal sikap kritis yang diajarkan oma, saya mulai mengkritisi ajaran Kristiani. Sesampai di rumah, dalam keadaan gelisah, saya banyak bertanya dalam hati. “Kenapa mama masuk islam?Ada apa dengan Islam?”

Ke Toko Buku Islam

Saat saya renungkan soal korssep ketuhanan, secara tak sadar saya melontarkan pertanyaan nakal yang tak seharusnya saya lontarkan kepada diri saya sendiri. Dalam hati kecil, saya berkata: secara logika, saat Yesus disalib, dihina, diludahi, sebetulnya di mana sebenamya letak ketuhanan Yesus? Seharusnya, Tuhan tidak layak diperlakukan seperti itu.

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang saya lontarkan sendiri, diam-diam saya masuk ke toko buku Islam di Sarinah, Jakarta dengan hati dag dig dug. Saat itu, saya can buku yang berhubungan dengan pertanyaan saya tentang konsep Tuhan. Secara kebetulan, saya menemukan buku berjudul “Bibel dalam Timbangan”. Dan tepat, saya menemui jawaban dari pertanyaan saya seiama ini. Begitu saya beli buku tersebut, lantas saya baca isinya sampai habis. Selain itu, saya juga membuka tafsir Al Our’an dan Al Kitab untuk saya pelajari dan bandingkan.

Yang pasti, mama tidak tahu, saya sedang mempelajari Islam diam-diam. Adapun, tujuan saya mempelajari Islam awalnya adalah agar saya bisa menyerang balik mama tentang Islam, agama baru yang mama anut. Tegasnya, saya ingin mengcounter mama. Tapi belum saya mengcounter, iman Kristiani saya justru malah goyah. Terlebih, ketika saya membuka ayat Al Qur’an tentang keesaan Tuhan. Dari situ, entah kenapa, saya seperti diyakinkan, bahwa Tuhan itu Esa. Sedangkan Yesus itu hanyalah seorang perantara atau messenger (utusan) yang menghantarkan manusia menuju Tuhan.

Secara logika, saya juga berpikir, Tuhan itu tidak ada perantara. Yesus hanyalah utusan saja yang mengajak kita mengenal Tuhan. Saya menyadari, ternyata dalam Islam, menjelaskan konsep ketuhanan itu lebih gampang ketimbang Kristiani. Maka, dalam kurun waktu setahun, saya betul-betul mempeiajari Islam, dan mencari hakikat Tuhan yang sejati.

Sebelum masuk Islam, mama mengajak saya ke Yayasan Islam Haji Kariem Oei, sebuah komunitas untuk Tionghoa Muslim, di bilangan Sawah Besar, Jakarta. Setiap minggu, mama memang selalu ke sana. Anehnya saya menurut saja. Di Yayasan Karim Oei itulah, saya berkenalan dengan banyak keiuarga Tionghoa Muslim.

Saya akui, dalam pandangan Tionghoa non-Muslim, Islam adalah agama yang rendah, terbelakang, dan menakutkan. Padahal, sebetulnya, bukan Islamnya yang rendah, tapi umatnya yang merendahkan diri. Di Karim Oei, ada upaya untuk menjembatani antara pribumi dengan keturunan Tionghoa soal terjadinya misinformasi. Di Yayasan inilah, disampaikan syiar di kalangan Cina non-Muslim, tentang ajaran Islam yang indah, sejuk, dan bermartabat.

Kenapa ke Karim Oei? Karena, biasanya kaum Tionghoa akan merasa nyaman bila berada di lingkungan dan budaya yang sama, yakni dengan sesama keturunan Tionghoa. Saya sendiri merasa nyambung dalam berkomunikasi, dan seperti di rumah sendiri.

Ketika dibentuk wadah untuk remaja Islam bernama Hirko (Himpunan Remaja Islam Karim Oei) tahun 1995, saya terlibat di daiamnya. Padahal waktu itu saya belum masuk Islam, tapi lucunya saya malah ikut-ikutan. Akhirnya tahun 1996 saya memutuskan untuk masuk Islam. Sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat di rumah Hartono, mantan KASAD dengan dibimbing oleh Imam Besar Al Aznar (tepat bulan Ramadhan), saya lebih dulu memberi tahu mama. Kata saya, “Ma, saya mau masuk Islam.” Ah betul nih? tanya mama. “Betul! Sudah setahun saya mempelajari Islam, Ma,” jawab saya.

Tahun pertama saya masuk islam, mulanya baik-baik saja, tapi setelah itu, teman dekat saya mulai menjauh. Lebih menyakitkan lagi, saya didiamkan oleh teman-teman saya satu kelas, termasuk guru saya. Saat itu saya masih cuek saja. Tapi, lama-lama saya mulai merasa tidak betah. Meski begitu, saya tetap meneruskan sekolah, hingga tamat.

Sejak awal mama masuk Islam, tidak ada keluarga papa dan mama pun yang tahu. Apalagi saya. Suatu ketika, mama tampil di salah satu stasiun televisi swasta sebagai narasumber untuk diwawancara tentang keislamannya. Kebetuian saja, tetangga saya ada yang menonoton tayangan itu. Akhimya tersebarlah kabar mama masuk Islam hingga semua orang tahu, tak terkecuali, saudara papa dan saudara mama. Tapi keluarga papa lebih menghormati ketimbang keluarga mama. Sebab, sampai saat ini, saudara mama, betul-betul telah putus hubungan, karena mereka menjaga jarak dengan kami.

Setelah Reynold memeluk Islam, ia memilih nasyid sebagai jalur dakwahnya. Di Tim Nasyid “Lampion”, Reynold, berdakwah melalui pendekatan budaya. Menurut Reynold, jalur budaya sangat efektif untuk berdakwah. “Di Kristen saja, ada paduan suara, ada drama tentang pengorbanan Yesus. Pola ini, terbukti bisa diterima oleh banyak orang, Sebagai Muslim, saya berharap, Islam kian berkembang. Dalam dakwah pun, kita harus memperkenalkan Islam lebih indah, sejuk dan damai. Dengan demikian, Islam tidak dinilai dalam kacamata personal atau pribadi semata. Kerena itu, kita harus merubah pola pikir di kalangan non Muslim, Islam adalah agama rendah, buruk dan terbelakang. Terpenting, tantangan dakwah di kalangan Tionghoa non-Muslim adalah dengan memberi keteladanan dan akhlak yang baik,” tandas Reynold yang kini kuliah di Universitas Islam Jakarta.

Demikian Artikel Tentang Muhammad Reynold Hamdani, Gagal Meneruskan Cita-cita Oma Jadi Pendeta

Muhammad Reynold Hamdani, Gagal Meneruskan Cita-cita Oma Jadi Pendeta

Muhammad Reynold Hamdani, Gagal Meneruskan Cita-cita Oma Jadi Pendeta

Tutup Sidebar
Sidebar
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah:

Chat via Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

Admin 1
● online
Admin 2
● online
Admin 1
● online
Halo, perkenalkan saya Admin 1
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja